Dari Amsterdam ke Mekkah: Mengikut Bisikan Hati Untuk Umroh
Setelah sekian puluh tahun tinggal di Belanda, tidak pernah terpikirku untuk berangkat Umroh. Dan juga tidak pernah menghayalkannya. Alhamdulilllah. Aku berhasil mewujudkannya. Dan di kota suci “Madinah aku jatuh cinta sekali”. Aku sangat jatuh cinta dengan kota suci Madinah. Insya Allah akan kembali lagi.
Bisikan Hati di Negeri Rantau
Di tengah rutinitas harian di Belanda, sebuah bisikan halus mulai menyelinap di hati. Bukan ajakan dari teman, bukan tren di media sosial, tapi kerinduan mendalam yang tiba-tiba muncul untuk Baitullah. Aku yang saat ini tinggal di negeri kincir angin Belanda, tak pernah menyangka panggilan itu akan datang sekuat ini, memunculkan pertanyaan besar: bagaimana aku bisa mewujudkannya dari sini?
Baca Juga:
Drama Pencarian Travel: Antara Kekhawatiran dan Keyakinan
Mencari travel umroh di negara non-Muslim bukanlah segampang seperti di Indonesia.
Mencari travel umroh dari Belanda lewat online itu rasanya seperti berjalan di labirin. Pilihan memang ada, tapi kekhawatiran juga sama besarnya. Aku takut kena tipu, takut travel agent-nya abal-abal. Setiap situs aku telusuri, setiap ulasan aku baca dengan seksama. Nomor KvK (Kamar Dagang Belanda) aku cek, alamat kantor mereka aku cari di Google Maps, bahkan izin resmi lainnya pun tak luput dari perhatianku. Semua demi memastikan aku tak salah langkah.
Hajar Umrah Reizen: Ketika Review dan Fast Response Meluluhkan Kekhawatiran
Di tengah kebingungan dan ketakutan, nama Hajar Umrah muncul. Review-nya? Bintang lima semua. Komentarnya? Positif semua. Penasaran, aku pun mulai japri admin mereka, menanyakan harga untuk paket 8 hari yang aku inginkan.
Fast response. Masya Allah. Aku sampai kaget. Awalnya, aku berniat menemui admin langsung, tapi komunikasi lewat WA yang gerak-cepet dan profesional perlahan melunturkan kekhawatiranku. Maka, dengan Bismillah, aku pun booking paket 8 hari bersama mereka.”
Pertemuanku dengan admin pun aku batalkan. Apalagi aku menerima semua surat-surat terkait konfirmasi booking dikirim lewat e-Mail secara otomatis dan hanya dalam hitungan detik. Niatku untuk bertemuu dengan admin pun aku batalkan. Pengecekan data resmi yang meyakinkan membuatku mantap memilih mereka. Alhamdulillah.
Detik-detik Keberangkatan dari Schiphol
Pagi itu, udara dingin Schiphol, aku sengaja datang lebih awal, saat itu di bulan Januari tahun 2025. Cuaca sekitar 6 derajat celsius, ini bulannya musim dingin.
Saat menunggu di meeting-point rasa was-wasku yang masih membayangi. Ini karena aku pertama kali mengalamai perjalanan spiritual seperti ini, sehingga aku merasa kik-kuk yang gak henti-hentinya.
Saat aku tiba di meeting-point yang sudah ditentukan, pandanganku menyapu sekeliling. Deretan wajah yang asing. Belum ada tanda-tanda rombongan umroh Hajar Umrah yang aku cari. Kecemasan kecil mulai merayap. “Apakah aku salah tempat? Pikiran-pikiran itu sempat melintas. Namun, aku mencoba menenangkan diri, yakin bahwa semua sudah diatur dengan baik.
Beberapa saat kemudian, keramaian di meeting-point mulai berubah. Satu per satu wajah dengan senyuman cerah mulai bermunculan serta berubah menjadi sapaan ramah. Kemudian, sosok yang paling aku nantikan pun terlihat: tour leader kami. Rasa lega yang luar biasa membanjiri dadaku. Ini dia, permulaan perjalanan suci yang sudah lama kuimpikan, dimulai dari gerbang Schiphol ini.
Dari Bandara Udara Amsterdam Schiphol Belanda hingga Sentuhan Tanah Suci
Siapa sangka panggilan yang paling agung itu justru datang membisik? Bukan untuk liburan biasa, bukan untuk pekerjaan, melainkan sebuah perjalanan yang tak hanya mengubah rute penerbanganku, tapi juga arah hidupku seutuhnya. Ini bukan sekadar kisah umroh, tapi tentang bagaimana Allah membelai hatiku dengan hidayah bertubi-tubi.
Terbang Tinggi Bersama Doa dan Syukur
Momen lepas landas, ketika pesawat perlahan bergerak, meninggalkan landasan Bandara Schiphol, ada rasa haru yang tak terbendung memenuhi dadaku. Jendela kecil di sampingku menyajikan pemandangan daratan Belanda yang perlahan mengecil.
Setiap detik saat roda pesawat terangkat dari bumi, tak henti-hentinya bibirku melafazkan doa dan ucapan Alhamdulillah. Doa-doa yang ku panjatkan kini terasa begitu dekat, seolah-olah sudah separuh jalan menuju kabul.
Di ketinggian ribuan kaki, di antara awan-awan yang berarak, aku merenung. Ini bukan hanya tentang meninggalkan negeri kincir angin, tapi juga tentang memulai sebuah babak baru. Sebuah babak di mana hati dan pikiran sepenuhnya tertuju pada Rumah Allah. Sebuah babak yang penuh harapan akan bimbingan, ampunan, dan nikmat hidayah yang akan menyelimuti setiap langkahku di Tanah Suci. Rasa haru itu bercampur dengan keyakinan, bahwa di balik awan ini, sebuah takdir suci telah menanti.
Kedatangan di Tanah Suci, Madinah Kemudian Mekkah
Madinah, kota Nabi ini terasa nyaman dan damai. Jalan kaki dari hotel tempat aku menginap tak lebih dari 5 menit sudah sampai di Masjid Nabawi.
Karena ini pertama kali kunjunganku, aku seperti anak yang kesasar di daerah ini. Namun, aku punya rombongan yang sangat ramah dan kekeluargaan. Sehingga kamipun pergi sholat bersama ke Masjid Nabawi.
Awal-awalnya sedikit susah, karena ramai, dan kalau lambat datang akhirnya akan sholat di lataran halaman luar. Namun keesokan harinya kami sudah tau, maka kamipun berusaha selalu datang lebih awal, jauh sebelum Adzan berkumandang. Agar dapet tempat yang nyaman, paling tidak sholat di dalam gedung Masjid Nabawi.
Selesai sholat, kamipun jelajahi tempat-tempat sekitar untuk cari makan.
Beberapa Hari di Madinah, Saatnya Menuju Panggilan Mekkah
Perasaan haru dan berat hati menyelimutiku saat tiba waktunya meninggalkan Madinah, kota yang berhasil merebut seluruh cintaku. Aku pandangi kubah hijau dari jendela bus untuk terakhir kalinya terasa seperti perpisahan dengan sahabat terkasih. Namun, bus tetap melaju, membawa kami perlahan menjauh dari kota damai itu, menuju tujuan berikutnya yang tak kalah agung: Mekkah.
Semakin dekat bus melaju menuju batas kota Mekkah, suasana di dalam pun mulai berubah. Lantunan talbiyah “Labbaik Allahumma Labbaik” yang dipimpin oleh tour leader kami mulai memenuhi setiap sudut bus. Suara-suara itu berpadu, menciptakan getaran magis yang langsung meresap ke dalam sanubari. Seketika itu juga, air mataku tak henti-hentinya mengalir. Ini bukan air mata kesedihan, melainkan luapan kebahagiaan dan rasa syukur yang tak terlukiskan. Betapa agungnya nikmat ini, aku bisa berada di dalam bus ini, melangkah semakin dekat menuju Rumah Allah. Hati ini bergemuruh, membayangkan momen yang telah lama aku nantikan.
Perjalanan dari Madinah naik bus, itu makan waktu sekitar lebih kurang 6 jam. Karena terkendala macet, kami pun sampai kota Mekkah agak malam. Alhamdulillah sampai dengan selamat.
Perjumpaan Pertama dengan Sang Kotak Hitam: Ka’bah
Singkat cerita, setelah tiba di Mekkah dan check-in di hotel, kami hanya diberi waktu sekitar 30 menit oleh tour leader. Cukup untuk menaruh barang dan sedikit menyegarkan diri, karena panggilan untuk segera bertemu Ka’bah sudah terlalu kuat. Jantungku berdebar kencang, bahkan rasanya lebih kencang dari biasanya, saat kami bergegas turun ke lobi. Setiap langkah terasa berat sekaligus ringan, dipenuhi antisipasi yang tak terkira.
Akhirnya, kami tiba di Masjidil Haram. Keramaian umat dan sorot lampu yang memancar menambah suasana sakral. Kemudian, di tengah lautan manusia yang bertawaf, pandanganku terpaku pada sebuah kotak hitam agung itu: Ka’bah.
Masya Allah.
Selama ini, Ka’bah hanya ku lihat dalam gambar, di layar kaca, atau paling dekat, di detail sajadah yang setiap hari ku gunakan untuk shalat. Kini, ia terpampang nyata di hadapanku, jauh lebih megah dan memesona dari segala imajinasi. Getaran spiritual yang dahsyat menyeruak, seolah semua doa dan kerinduan bertahun-tahun lamanya akhirnya menemukan wujudnya. Saat itu, yang bisa kulakukan hanyalah menatap, menahan napas, dan membiarkan air mata syukur kembali membasahi pipi. Ini bukan lagi sekadar impian atau gambar di sajadah; ini adalah kenyataan suci yang memelukku erat.
Yang paling membuatku tertegun adalah kenyataan bahwa Ka’bah tak pernah sepi. Siang dan malam, di bawah terik matahari atau cahaya, ribuan, bahkan jutaan manusia dari segala penjuru dunia tak henti-hentinya mengelilinginya.
Hikmah, Syukur dan Kerinduan untuk Kembali
Sekarang, setelah kembali ke rutinitas di Belanda, setiap hari terasa seperti hadiah dari Allah. Nikmat yang kudapatkan sepulang umroh terasa begitu nyata dan bertubi-tubi. Ada ketenangan batin yang belum pernah kurasakan sebelumnya, kemudahan dalam setiap urusan, dan rasa syukur. Rasanya, Allah tak henti-hentinya memelukku dengan hidayah dan keberkahan, seolah menjawab setiap doa yang kulantunkan di hadapan Ka’bah.
Kini, kerinduan yang tak terbendung untuk kembali ke Mekkah. Insya Allah, jika ada langkah dan rezeki, tahun depan aku ingin kembali.
Banjir Hidayah dan Nikmat Allah Yang Tak Terputus
Mungkin kamu juga sedang merasakan bisikan serupa, di mana pun kamu berada. Jangan tunda. Karena aku bersaksi, ketika Allah memanggil, Dia tak hanya membukakan pintu Baitullah, tapi juga membukakan pintu-pintu hidayah yang tak pernah terbayangkan. Aku harap, kisahku ini bisa menjadi pemicu, bahwa nikmat Allah itu nyata, dan hidayah itu adalah anugerah terbesar yang siap menyambutmu di mana pun, kapan pun. Semoga kita semua selalu dalam limpahan rahmat dan hidayah-Nya. Amin.
MEDIA SOSIAL
Dibawah ini ada beberapa link embed terkait menuju ke dunia maya maupun ke GooglePhoto.
GooglePhoto: UMROH | Madinah dan Mekkah
TIKTOK





Leave a reply to Masjid di Semarang: Potret Keindahan dari Negara dengan Masjid Terbanyak di Dunia – ellyafriani. Cancel reply